Sunday, February 26, 2012

Kasih, Kematian, Kesendirian

Beberapa hari ini aku banyak belajar dari sekelilingku. 

Pelajaran pertama tentang kasih. Bunda dari saudaraku Okky Fajar Trimaryana, Sabtu pagi lalu wafat. Subhanallah tak seorangpun dari keluarganya menyaksikan kepergiannya. Sama sekali tak memberi tanda, halus, bersih. Beliau divonis kanker dan usianya hanya bertahan 4 bulan atau paling lama 2 tahun lagi. Tapi ternyata hanya berselang beberapa hari dari vonis tersebut Allah berkehendak lain, Sang Bunda dipanggil lebih awal. Barangkali Allah sangat sayang pada Almarhumah sehingga mempercepat prosesnya tanpa sempat menjalani kemoterapi. Beliau selama ini menolak keras untuk di-kemo karena sangat menjaga auratnya. Tak pernah ia lepas dari Al Quran. Hingga wafat  pun dalam keadaan memeluk Quran. 

Aku belajar tentang kasih... Bahwa kasih itu begitu besar energinya hingga mampu membuat seorang ibu 'pergi diam-diam' karena Allah hendak memberi pelajaran bahwa menyesal dan berandai-andai itu hanya membuat kita kufur. Seandainya saja begini, seandainya begitu... Jangan pernah terucap demikian. Kasih itu demikian kuat hingga membuat Okky yang ku kenal selalu ceria tiba-tiba bermata sembab, tapi kemudian membuatnya lebih kuat dari ayahnya hingga mampu membenamkan jasad ibunya ke tanah dengan tak segan-segan merasakan sensasi dalam kubur, mencoba membayangkan apa yang akan dirasakan ibunya nanti di sana. Menyentuh tanah jengkal demi jengkal. Mencoba tak menangis lagi. Tapi tetap saja, kasih jua lah yang membuatnya kembali menitikkan air mata ketika terbayang aneka memori tentang sang bunda di tiap sudut rumah, mestinya ibu masih di sana. Tapi ia bergegas membuyarkan lamunannya tak mau larut dan mencoba ikhlas. Kuatlah kawan... Demi adik-adikmu. Tetaplah tersenyum dan jaga ide kreatif Fisika-mu. Kami tunggu kau kembali dengan jiwa baru.

Pelajaran ke dua tentang kematian kuperoleh dari acara pengukuhan Guru Besar Teknik Sipil USB YPKP, Prof. Dr. Ir. Hadi Utoyo Moeno, BE., MSc., MIHT. Penjabaran ilmu dalam orasi ilmiahnya membuatku hampir terlelap. Tapi pada bagian penutup tiba-tiba aku jadi segar dan terbangun. Aku belajar bahwa : "Momen saat mengenang orang-orang yang berjasa itu selalu membawa air mata hatta sudah jauh bertahun-tahun jauhnya." Beliau berterimakasih pada ayah bundanya yang sudah tiada, saat itu beliau menangis dan orasi terhenti sejenak di depan mimbar. Aku terbayang apa yang dirasakan beliau. Andai dapat kuuntai dalam kata-kata mungkin begini redaksinya : "Ayah, Ibu, lihatlah hari ini anakmu sudah jadi Guru Besar. Aku berharap kalian ada di sini ikut bangga dan merasakan bahagiaku jua. Aku tak mungkin jadi begini andai dulu ibu tak ngomel-ngomel saat aku malas berangkat sekolah, andai ayah tak memarahiku saat aku meninju temanku saat itu. Terimakasih sudah mengkondisikan semuanya hingga hari ini jadi milikku. Semoga Allah menjaga kalian di sana." Kematian menyadarkan kita betapa mereka begitu berarti bagi kita. Maha sempurna Allah yang membuat hidup ini tak abadi. Alhamdulillah, semoga kita lebih menghargai hidup dan kesempatan.

Pelajaran ke tiga tentang kesendirian. Kadang, sendiri itu lebih baik daripada berjalan beriring dengan someone yang tak menganggapmu ada. Someone yang merasa telah cukup kuat dengan kesendiriannya. Heu... lebih baik menyibukkan diri melayani umat yang mungkin lebih perlu kita. Kuncinya, aku yakin takkan diuji aku dengan hal yang tak mampu aku lalui. Just haven't find the perfect harbour to lean on. At least i've tried. Keep struggle! Tak masalah berapa kali kita harus terjatuh, yang penting adalah seberapa banyak kita mengambil hikmah dari tiap babak hidup ini. Aku kangen rumah, kangen Ibu yang ceriwisnya membuatku selalu tak betah di rumah tapi juga selalu membuatku khawatir dengan keadaannya. Aku pengen bilang aku sayang ibu, tapi selalu tak mampu ku ungkapkan. Ah, masak iya nasibku harus seperti kisah Kabhi Kushi Kabhi Gham cuma gara-gara gengsi dan egoisme. Aku kangen ayah, pengen duduk di teras depan rumah sambil memandang ladang kangkung, diam tanpa kata, itu sudah cukup menentramkanku. Aku sepi... Melarikan diri pada tumpukan jurnal, tugas-tugas dan lembar koreksian, di suatu kamar di tepi kali... Mereka yang hari ini masih sendiri, setidaknya mereka dekat dengan keluarganya, aku dan pilihanku akhirnya harus menepi, sunyi, sendiri. No regret lah, ini bagian dari skenario hidupku. Suatu saat aku akan mengenang hari ini dengan bangga!

Dah ah, cukup memoarnya. Kembali ke tugas-tugas.

1 comment: